Kajang merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di kabupaten
Bulukumba propinsi Sulawesi Selatan. Letaknya kurang lebih
30 km sebelah timur kota Bulukumba. Kecamatan
Kajang, di dalamnya terdapat sebuah komunitas suku, mereka hidup berkelompok
dan bernaung dalam sebuah kawasan adat. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal-hal modernisasi. Secara
turun-temurun adat tradisi yang diwarisi dari leluhur mereka, tetap dipertahankan dan tetap eksis ditengah arus
modernisasi sekarang ini, tercermin dari kebiasaan-kebiasaan mereka. Keunikan
budayanya sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru dunia. Keunikan ini pula
yang membuat Kajang tiap tahunnya dibanjiri wisatawan mancanegara.
Masyarakat
adat di Kajang memang menyimpan begitu banyak cerita bagi setiap pengunjungnya.
Keberadaannya yang cukup jauh dari kota membuat masyarakatnya masih menganut
sistem tradisional baik dari segi ritual keagamaan ataupun sosial kehidupannya.
Dalam kawasan adat,
pakaian menjadi ciri khas tersendiri. Masyarakatnya memakai pakaian serba hitam
dan tidak memakai pengalas kaki serta bagi laki-laki yang sudah berkeluarga
atau sudah memiliki ciri seorang pemimpin, maka sudah pantas memakai “Passapu”
(pengikat kepala, mahkota). Inilah salah satu tradisi yang tetap bertradisi
secara turun temurun. Dan selain pakaian hitam yaitu pakaian yang berwarna
mencolok seperti pakaian yang warna kuning, orange, merah dan lain-lain itu
menjadi pantangan dan tidak boleh dipakai (ada rahasia dibalik rahasia).
Hitam merupakan
sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita memasuki kawasan
tersebut, pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam mempunyai makna bagi
mayarakat adat yaitu sebagai simbol
kesederhanaan dan kesamaan dalam bentuk
wujud lahir serta peringatan akan
adanya kematian atau sisi gelap.
Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan
sang Pencipta.
Tanah leluhur yang terjaga sampai sekarang, penduduk disana
menyebutnya “Tanah Toa”. Yaitu Tanah Toa
yang berarti tanah yang tertua, masyarakat disana percaya bahwa asal
muasal tanah ang paling awal, yang paling tertua di dunia yaitu di Kajang. Yang
sekarang dimekarkan menjadi sebuah nama desa yaitu desa Tanah Toa. Dan khusus
kawasan adat disebut kawasan adat “Amma toa”, dengan struktur pemerintahan adat
disebut “Pangngadakkang” (struktur adat). Bahasa sehari-hari penduduk disana,
berbahasa Konjo dari suku Konjo Kajang.
Pemegang kekuasaan tertinggi di dalam kawasan adat “Amma Toa” adalah
“Bohe’ Amma”. Dalam bahasa Indonesia, “Bohe” berarti tua atau tertua atau
dituakan (terpandang, didengar). Sedangkn “Amma” berarti ayah atau bapak
(laki-laki, sudah berkeluarga). Sehingga dapat diartikan bahwa Bohe’ Amma
adalah kepala adat yang dapat membina dan mengarahkan masyarakat adat ke
arah kebenaran, sesuai dengan
kepercayaan dan aturan-aturan adat itu sendiri. Tokoh yang satu (tunggal) ini
sangat-sangat disakralkan, sampai-sampai tidak boleh diexpos atau tidak boleh
diambil gambarnya (sudah menjadi pantangan, ketentuan adat).
Kearifan lokal “Bohe’ Amma” sebagai kepala adat, terlihat pada
cara mengarahkan, membina, memutuskan dan memberi kebijakan. Kearifan lokal ini dipegang
teguh oleh masyarakatnya dan apabila terjadi penyimpangan di dalamnya, maka
sanksi yang jelas dan berat sudah siap menanti pelakunya. Kawasan adat “Amma
Toa”
memiliki struktur adat dan
tugasnya masing-masing (Pangngadakkang
Na Amma Toa)........ ...............
Mata pencaharian masyarakat
kawasan adat “Amma Toa” suku Konjo adalah mayoritas petani, berladang
dan sebagian juga beternak dan berdagang. Hasil-hasil panennya dibawa keluar,
diperdagangkan dipasar-pasar tradisional. Namun tak dipungkiri sekarang dengan
berjalannya waktu dan berkembangnya
zaman, sudah ada masyarakatnya yang jadi pegawai dan bahkan ada yang
terjun dipemerintahan. Namun mereka masih tetap menjunjung tinggi adat tradisi
nenek moyangnya.
Kawasan adat “Amma Toa’’
memiliki aturan adat tersendiri. Aturan-aturan adat tersebut secara tersirat
dipaparkan di dalam sebuah pesan. “Pasang Ri Kajang” yang berarti pesan suci
dari Kajang. Secara tidak langsung, “Pasang Ri Kajang” dapat dikatakan sebagai kalimat-kalimat atau
ungkapan-ungkapan suci yang berisi pesan-pesan lisan dan disampaikan dari mulut
ke mulut (bukan secara tertulis). “Pasang Ri Kajang” merupakan pencerahan atau
penuntun hidup bagi masyarakat tanah
adat suku Konjo.
“Pasang Ri Kajang” menyimpan pesan-pesan
luhur. Yakni, penduduk Tanah Toa harus senantiasa ingat kepada Tuhan. Lalu,
harus memupuk rasa kekeluargaan dan saling memuliakan. mereka juga diajarkan
untuk bertindak tegas, sabar, dan tawakal. “Pasang Ri Kajang” juga mengajak
untuk taat pada aturan, dan melaksanakan semua aturan itu sebaik-baiknya. Yaitu dapat dikatakan bahwa isi “Pasang Ri Kajang” ada kaitannya dengan hubungan manusia dengan
manusia, hubungan manusia dengan makhluk lainnya (alam) dan hubungan manusia
dengan Pencipta-Nya. Selain itu, isi
“Pasang Ri Kajang” bercerita tentang masa lampau, masa sekarang dan masa yang
akan datang. “Pasang Ri Kajang” juga merupakan sebuah pesan-pesan moral atau
kebajikan dan hakikat-hakikat kebenaran.
Dengan didasari isi ”Pasang Ri Kajang”, maka terbentuklah aturan-aturan
adat. Yang berlaku dan harus dipatuhi. Karena itu, bagi
yang melanggar aturan adat, diberi sanksi oleh “Bohe’ Amma”. Namun, sanksi-sanksi
yang diberikan oleh “Bohe’ Amma” kepada si korban misalnya, itu memilki
takaran-takaran sanksi tersendiri.
Dalam
aturan adat, ada yang disebut “ma’ring’’ dan “talama”ring”. Dalam bahasa Indonesia
“ ma’ring ” berarti boleh dilakukan atau diperdengarkan, disampaikan ke orang lain (perintah). Sedangkan istilah “ talama’ring” berarti
tidak boleh dilakukan atau bahkan tidak boleh diperdengarkan, tidak boleh
disampaikan ke orang lain (larangan), kecuali orang yang ingin disampaikan tau
betul tentang aturan adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa aturan-aturan adat
yang tersirat dalam “Pasang Ri Kajang” (pesan suci yang penyampaiannya secara lisan) memiliki
batasan-batasan untuk diketahui isi daripada pasang tersebut, termasuk bagi
peneliti-peneliti, wisatawan, orang yang tidak punya hubungan darah dengan
keturunan suku Konjo. Apalagi untuk dipublikasikan semua isi dari pasang
tersebut, dilarang keras kecuali karena
sudah menjadi ketentuan aturan adat.
Sebagaimana
dikatakan bahwa ada yang bisa disampaikan (ma’ring merupakan perintah) dan ada
yang tidak bisa disampaikan (talama’ring merupakan larangan). Dan adapun “Pasang”
yang bisa disampaikan (dipublikasikan) secara langsung, yaitu seperti berikut:
“Pasang
Ri Kajang” ( tentang kegotong-royongan, persaudaraan)
A’ lemo sibatu: “ a’ lemo” dalam bahasa Indonesia
berarti jeruk yang bulat. Sedangkan “sibatu” berati
utuh satu (tunggal). Sehingga a’ le,mo sibatu dapat dikatakan sebagai sebuah
tekad kebersamaan yang utuh disatukan’. Pasang ini menekankan perlunya sikap
persaudaraan.
A’ bulo sipappa’: “a’ bulo” dalam bahasa Indonesia berarti bagai pohon bambu. “sipappa” berarti
sibatang. Sehingga “ a’ bulo sipappa”
maksudnya bahwa sifat yang harus dimiliki oleh setiap makhluk yang
sempurna (manusia), harus seperti pohon bambu. Kuat dan tegar bahkan diterpa
angin sekalipun dan semakin tinggi semakin merunduk. Guncangan dan cobaan
apapun dan bagaimana pun, harus tetap tegar. Pasang tersebut menekankan
kedermawanan serta perlunya kerendahan hati dan kejujuran disetiap individu.
Tallang sipahua’: “tallang” dalam bahasa
Indonesia berarti tenggelam. Sedangkan “sipahua’ ” berarti kembali ke dasar
bersama. Jadi “tallang sipahua’ “ adalah pada saat nasib buruk menimpa maka
kita harus kembali bersama menyatukan semangat, agar bisa hidup dengan
ketentraman di alam yang penuh kedamaian.
Manyu’ siparampe: “ manyu’ ‘’ dalam bahasa Indonesia berarti
hanyut atau terhanyut atau terlena. Sedangkan “siparampe” berarti saling
mengingatkan. Sehingga “ manyu siparampe” dapat diartikan bahwa pada saat kita
terlena dengan suasana yang baru, yang
tidak sesuai lagi dengan aturan-aturan maka hendaknya kita saling
introfeksi diri dan mari kita saling mengingatkan untuk ke jalan yang benar.
Pokok aturan dalam kawasan adat “Amma Toa”
Secara umum, ada hal yang menjadi pokok aturan di dalam adat
“Amma Toa” yaitu diantaranya sebagai berikut:
1.
Melaksanakan
perintah adat dan menjauhi hal-hal yang dilarang.
2.
Patuh dan taat
pada aturan-aturan adat.
3.
Menghargai dan
menghormati aturan adat.
Pokok aturan tersebut
merupakan landasan dalam menjalankan aturan-aturan adat dikawasan “Amma Toa”
yang berlaku untuk semua. Maksudnya, bahwa siapa pun itu tanpa pandang buluh,
tanpa melihat pangkat, derajat, harkat dan martabat seseorang, kalau melanggar
aturan berarti harus dihukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Ditekankan
pula bahwa sesuatu yang sakral itu tidak boleh diexpose (tidak boleh
dipertanyakan kenapa tidak boleh?_ karena sudah menjadi ketentuan adat). Yaitu,
bagi orang yang membuat pelanggaran, akan berakibat patal bagi dirinya sendiri.
Dan sebaliknya, jika menaati aturan adat maka orang tersebut dijuluki orang
yang selamat.
Aturan dalam kawasan adat “Amma Toa”, sebagaimana dijelaskan sebelumnya
ada yang “ ma’ring” (perintah, dibolehkan) dan ada yang “talama’ring”
(larangan, tidak dibolehkan), dibagi ke dalam tiga kelompok yaitu sebagai
berikut:
1.
Hubungan Manusia dengan Manusia
Secara
umum, hal-hal gambaran yang diperintahkan (ma’ring), yang sudah menjadi
keharusan untuk dilakukan dalam kawasan adat (baik antara orang adat maupun
orang dari luar) yaitu antara lain:
a.
Berpakaian
hitam yang sopan (sarung, celana, baju harus hitam).
b.
Perkataan atau
perilaku seseorang harus dijaga pada saat memasuki kawasan adat.
c.
Saling menyapa
pada saat ketemu atau berpapasan dijalan.
d.
Gotong-royong
disetiap acara tradisi. Baik itu, pada saat “assunna’ “ (sunatan), “
pa’buntingngang” (perkawinan), “ akkalomba” (tradisi adat pada saat seorang
anak berusia sekitar dua tahunan), “attannung” (menenun), “akkattere” (tradisi yang dilaksanakan saat
seorang keluarga sudah merasa berkecukupan),
“ abbaca doang” (tradisi adat
untuk mengucap syukur kepada sang anugerah atas berkahnya), “a’dangang” (tradisi
adat kematian seseorang), “andingingi” (ritual adat yang bertujuan meminta kepada
sang Esa, perlindungan dan keselamatan), “ a’nganro” (ritual adat yang sangat
sakral dan tidak boleh diexpose. Yang boleh mengikuti acara tersebut hanya
petua-petua adat). Pada saat seperti itulah, kekeluargaan sangat-sangat
tercermin di dalamnya.
Sesuai
isi “Pasang’’ yang salah satu penggalan kalimatnya tentang kegotong-royongan,
kekeluargaan. ‘’ a’ lemo sibatu”. A’ lemo dalam bahasa Indonesia berarti jeruk
bulat, sedangkan sibatu berarti satu (tunggal). Sehingga a’lemo sibatu berarti
dapat dikatakan sebagai sebuah tekad kebersamaan yang utuh disatukan.
Secara umum, gambaran hal-hal yang dilarang
(talama’ring) untuk dilakukan di dalam kawasan adat (baik antara orang adat
maupun orang dari luar) yaitu antara lain:
a. Dilarang membawa alat elektronik
masuk ke dalam kawasan adat.
b. Dilarang sembarang mengambil
gambar disekitar kawasan adat.
c.
Diperingatkan bagi orang dari luar (tamu), agar tidak sembarang
menegur secara langsung pada saat melihat sesuatu yang menurut mereka (tamu)
lain dari yang lain.
d. Usahakan jangan berpakaian yang
warnanya mencolok seperti warnah merah, kuning, orange dan lain-lain (wajib
warnah hitam).
e.
Dilarang bersentuhan atau berpegangan bagi orang yang bukan
“muhrimnya”.
f.
Dilarang berteriak-teriak atau berkata kasar. Termasuk pada saat
ditempatnya “Bohe’ Amma”.
g. Usahakan jangan memakai sandal
pada saat masuk kawasan adat “Amma Toa”.
h. Dilarang memasukkan instalasi
listrik ke rumah-rumah penduduk adat “suku Konjo” yang ada di kawasan “Amma Toa”.
2.
Hubungan Manusia dengan Makhluk lainnya
(Alam)
next...........................................????